SEJARAH
Sandur
adalah salah satu jenis kesenian rakyat tradisional yang berkembang di masyarakat bojonegoro,jawa timur khususnya
daerah ledok kulon. Sandur sudah
ada sebelum Indonesia merdeka, tepatnya pada masa kerajaan majapahit. Sandur
menurut masyarakat zaman dahulu merupakan permainan anak-anak yang mengembala.
Sumber lain juga mengatakan bahwa kata sandur berasal dari singkatan kata beksan yang berarti tarian dan mundur yaitu mundur sehingga dapat diartikan
sebagai tarian yang di lakukan dengan cara mundur selain itu, sandur berasal
dari kata ikhsan yang berarti sesudah
dan dur yang berasal dari kata tandur
yang berarti menanam.Sehingga isi cerita bertemakan tentang aktifitas pertanian
yang dimulai dari mencari lahan pertanian , membajak ladang atau sawah,
menanam, dan akhirnya memanen hasil pertanian. Tanaman yang biasa di tanam
berupa tembakau, padi dan masih banyak lagi.
PEMAIN
Prosesi sandur di bagi menjadi tiga
bagian yaitu bagian pembuka, bagian cerita atau isi, dan bagian penutup. Bagian
pembuka terdiri dari tembang pembuka, berias, tari jaranan, dan nggundhisi.Cerita ini di perankan
oleh 5 tokoh ,yaitu Pethak,Cawik, Barong.
Tangsil dan Germo serta Tarian Jaranan yang di lakukan secara
khusus oleh tukang jaran dengan iringan tembang para panjak hore.Bagian penutup
ditandai dengan adegan atraksi kalongkeng.Sandur yang bertemakan tentang
pertanian menceritakan bahwa tokoh pethak yang sedang mencari pekerjaan kepada
Germo yang bertugas mencari tanah, namun Germo tidak dapat memenuhi, kemudian
menyarankan pada pethak untuk meminta pekerjaan kepada tangsil. Tetapi germo
tidak dapat memenuhi, kemudian menyarankan pethak bertemu balong kemudian di
ajak mencari tanah. Tanah itu di garap melalui proses mencangkul, menananm
sampai pada akhirnya memanen. Setelah panen selesai di garap masyarakat
merayakannya dengan mengadakan hiburan berupa sindiran yang di perankan oleh
cawik. Selain itu, sumber lain juga mengatakan bahwa pertunjukan sandur di
mulai oleh panjak ore dengan
menyanyikan tembang pembuka yang di pimpin oleh germo. Tembang yang dinyanyikan
antara lain, Bismillah, ilir gantu, aja
hara biru kemudian tulak kala.
Apabila langit mendung dan di mungkinkan hujan akan turun, dinyanyikan tembang mendung sepayung. Setelah
tembang-tembang tersebut dinyanyikan, biasanya salah satu tukang njaran segera ada yang
ndadi(menjadi-jadi) dan dimulailah tari jaranan. Jika belum ada yang ndadi kemudian di nyanyikan tembang sulur pandan. Adegan tari jaranan di kala
pertunjukan ini bertugas untuk mengantar para pemeran untuk berias di suatu
tempat, biasanya di rumah penaggap pertunjukan sandur. Adegan tersebut di
iringi dengan tembang kembang luntas.
Pada adegan ini para pemeran di jemput oleh perias yang membawa sebuah obor.
Para pemeran keluar dengan dipimpin perias. Jaranan mengikutinya hingga keluar
dari arena pula. Adegan jaranan disesuaikan dengan tembang iringannya, yakni mbesa (menari) dengan iringan tembang,
kembang le li le lo gempol, mubeng blabar
( mengitari arena pertunjukan) dengan iringan tembang kembang johar, njaluk ngombe (minta minum) diiringi dengan
tembang kembang jambe, njaluk leren (minta
berhenti), dengan iringan kembang duren,
dan proses penyadarannya diiringi tembang kembang
jambu yang menggambarkan jaranan
minta tidur. Ngideri atau mubeng blabar bertujuan untuk
mengamankan blabar janur kuning dari
desakan para penonton yang dapat merusak blabar.
Bagian ini jaranan mengitari blabar dari sisi luar. Adegan ini hanya dilakukan
pada awal pertunjukkan. Tari jaranan dilakukan pada bagian cerita atau saat
pada sajian drama, sedangkan adegan mubeng
blabar dilakukan di dalam arena blabar
janur kuning. Tari jaranan berakhir dengan ditandai tukang jaranan sadar.
Tembang-tembang yang dilantungkan selanjutnya adalah tembang-tembang yang
menggambarkan kegiatan para penari
berias, antara lain tembang kembang
gambas menggambarkan para pemeran mulai berias, tembang pitik lancur menggambarkan saat memakai
bedak, tembang kembang kawis menggambarkan
saat membuat alis, tembang kembang laos
menggambarkan saat membuat kumis, tembang pitik
lurik menggambarkan saat kain jarit, tembang jaran dhawuk menggambarkan saat memakai sabuk (ikat pinggang),
tembang kembang semboja menggambarkan
saat memakai konca, dan tembang kembang terong menggambarkan para pemain
memakai irah-irahan, setelah
tembang-tembang tersebut dinyanyikan, biasanya para pemeran sudah siap untuk
kembali ke arena pertunjukkan. Sekembalinya pemeran ke arena pertunjukkan
diiiringi oleh tembang kembang otok.
Para pemeran memasuki arena dengan dikerudungi dan diantar oleh perias dengan
membawa obor, kemudian obor tersebut diserahkan kepada germo. Kemudian adegan
berikutnya, para pemeran dipimpin oleh germo mengelilingi blabar janur kuning dengan iringan tembang surak hore. Mereka mengelilingi blabar tanpa menari, hingga sampai
ke tempat semula, yakni di sisi utara
menghadap ke timur. Adegan selanjutnya adalah germo nggundhisi. Germo
menceritakan proses turunnya 44 bidadari ke bumi. Bidadari-bidadari tersebut
merasuk ke tubuh tokoh-tokoh dalam pertunjukkan sandur, antara lain : bidadari
bernama Dewi Wiluotomo merasuki ke
tubuh pethak, Dewi Drustonolo ke
tubuh tokoh Balong, Gagar Mayang ke
tubuh Tangsil, Dewi Suprobo ke tubuh
tokoh Cawik, dan Irim-irim pada Germo, Panjak
Ore, Panjak Kendhang, Panjak Gong, Kalongking, Tukang Njaran, dan lain
sebagainya. Nggundhisi ini dikahiri
dengan sebuah kode untuk meminta gending
atau tembang yang harus dilantunkan seperti dalang memintai gending pada akhir janturan.
Pada
zaman dahulu dalam pementasan Sandur sangat erat dengan kekuatan magis. Namun, pada
saat ini kekuatan magis sudah tidak digunakan lagi, sehingga murni dilakukan
oleh manusia. Kekuatan magis ini bisa dilihat ketika para pemain menyanyikan
Tolak Ala, “ Aja Haru Biru, Anak Adam
Gawe Dolanan” yang bertujuan untuk meminta ijin agar tidak diganggu oleh
para jin, selain itu, seperti halnya orang yang biasanya tidak bisa menari,
bisa menari dengan mahir (kerasukan jin). Dalam pertunjukkan sandur pada zaman
dahulu juga ditampilkan dewa-dewi yang turun dari khayangan, salah satu
diantaranya adalah Dewa Surya yang dikenal sebagai Dewa Matahari dan Dewi Sri
yang dikenal sebagai Dewi Padi sehingga sangat erat sekali dengan cerita Sandur
yang bertemakan pertanian. Selain itu, dalam perjalanan perkembangan sandur,
terdapat banyak sekali rintangan, salah satu alasannya karena Sandur sangat
erat kaitannya pada pengaruh Hindu sehingga banyak sekali kecaman dari para
warga yang sudah menganut agama Islam pada saat itu. Ketika para wali datang
dengan membawa ajaran agama Islam, akhirnya salah satu lirik lagu yang
dinyanyikan, seperti nyanyian yang asli mengundang dewa “Dewa Widodari tumuruna ing Arca pada” dan “Alahyake Ya Rasulilah” (zaman dahulu), namun sekarang sudah diganti
menjadi “Laillahaillalah Ya Rasulilah”
karena sudah terpengaruh dengan agama Islam. Serta dibuktikan dengan nama Nabi
Adam dan Nabi Muhammad SAW disebutkan dalam lirik lagu sandur “Aja Haru Biru, Anak Adam Gawe Dolanan”
dan “Laillahaillalah Ya Rasulilah”.
PRESTASI
Secara nasional Sandur sudah dikenal, Pada eranya Pak
Sukadi sudah dikenal di Jawa Timur (Surabaya, Malang, Ponorogo) dan ke
kalianyar untuk mewakili Bojonegoro untuk mengikuti festival kesenian tradisi
pada tahun 1991. Pada saat eranya Pak Masnun pernah ke Taman Mini Indonesia
Indah (TMII) di Jakarta untuk mengikuti festival kesenian tradisi sehingga hal
itu membuat sandur sudah di kenal oleh nasional. Karena bermula pada akhir tahun 80-an dan awal tahun
90-an, kesenian Sandur mulai diangkat lagi pasca tragedi tahun 65 hingga
sekarang ini. Dibawah binaan Alm. Pak Masnoen, Sandur dikenalkan oeh Sandur
“Kembang Desa”, Kelurahan Ledok Kulon, dan Lorong Putih dari SMAN 1 Bojonegoro.
Serta anak didik dari Pak Masnoen yaitu Mukarom yang kini membina teater di
SMPN 1 Bojonegoro “Putih Biru”, SD Muhamadiyah 2, SMAN 4 Bojonegoro “Raras
Bojonegoro”, dan Sandur anak ngangkatan, desa Mulyoagung. Moch Mustakim yang
membina kelompok Sandur SDN Panjunan II, adapula Moch. Surono membina teater
SMP Muhammadiyah 9 Bojonegoro. Dan tak ketinggalan sebuah lembaga pengembangan
dan pemberdayaan seni di kabupaten Bojonegoro, yang dikenal dengan Sayap
Jendela yang berlokasi di Jl Kapten Ramli RT 02/ RW 04 Ledok Kulon, Bojonegoro
yang ikut serta dalam mengembangkan dan melestarikan kebudayaan sandur hingga
saat ini.
Sebagai generasi muda apalagi ABA (Anak Bojonegoro
Asli) sebaiknya kita terus melestarikan dan mengembangkan kebudayaan ini.
Sandur adalah harta kita, kekayaan kita yang perlu dirawat dan dikenalkan ke
luar sana, bahwa inilah identitas kita. Jangan sampai, kita melupakannya.
Apalagi kalau sudah di pantenkan oleh Negara lain sebagai kebudayaannya, kita
baru marah-marah dan mempedulikannya, itu semua adalah hal yang keliru. Maka
dari itu kita wajib menjaga dan melestarikannya dari sekarang. DARI SEKARANG
!!!!!
Sumber :
Narasumber : Jagad Pramudjito, 57 tahun, seniman
sandur, Bojonegoro
0 comments:
Post a Comment